Tren Marquee Player di Bola Indonesia, Demi Gengsi atau Prestasi ?
PEMAIN asing masih merepresentasikan level teratas kasta pemain pada kompetisi di Indonesia. Bahkan bisa dibilang, semakin banyak memiliki pemain asing, klub-klub merasa lebih kuat dan semakin percaya diri.
Oleh karena itu, PSSI melegalkan penambahan jumlah legiun impor melalui regulasi perekrutan marquee player alias pemain bintang internasional, klub-klub kontestan Liga 1 langsung merepons cepat. Mereka berlomba memburu pemain asing tambahan. Aturan tentang kuota maksimal tiga pemain impor (1 Asia da 2 non-Asia) demi memberi ruang lebih pada pemain lokal pun akhirnya tinggal kenangan.
Marquee player versi PSSI adalah pesepak bola asing yang dianggap berkelas dunia. Menurut peraturan di Liga 1, pemain itu bisa berasal dari negara mana saja, bebas berusia berapa pun, tetapi pernah bermain setidaknya dalam tiga putaran Piala Dunia terakhir (untuk hal ini pada tahun 2006, 2010, dan 2014) atau berkiprah liga top Eropa.
Selagi punya sumber dana memadai, setiap klub bebas merekrut hingga lima pemain impor berlabel bintang internasional. Kondisi ini tentu memberikan ruang lebar bagi tim-tim kaya untuk memiliki banyak pemain asing. Wajar jika begitu aturan marquee player ini didengungkan, tercatat sejumlah klub berduit sudah langsung menambah perbendaharaan pemain asing mereka.
Persib misalnya. Persib bisa dibilang merupakan ”biang kerok” tercetusnya regulasi marquee player ini. Begitu Persib mengumumkan perekrutan eks bintang Chelsea Michael Essien, aturan marquee player pun lahir.
Tak berhenti di Essien, Persib juga merekrut mantan penyerang tim nasinoal Inggris yang tenar bersama West Ham United Carlton Cole. Ditambah Vladimir Vujovic (Montenegro) dan Shohei Matsunaga (Jepang), Persib sudah diperkuat empat pemain asing.
Madura United mengikuti jejak Persib dengan mendatangkan Peter Odemwingie, striker berpaspor Nigeria yang kenyang pengalaman bermain di Liga Premier Inggris. Odemwingie menambah kekuatan amunisi impor Laskar Sape Kerrab yang sebelumnya sudah dihuni oleh pemain Brasil, Maroko, dan Australia.
Dari Samarinda, setelah mengikat dua pemain Brasil dan seorang bek Jepang, Borneo FC ikut bergerak cepat memburu pemain bintang internasional sebagai tambahan pemain asing. Pesut Etam merekrut Shane Smeltz, striker tim nasional Selandia Baru yang pernah membobol gawang kiper Italia Gianluigi Buffon pada Piala Dunia 2010. Dengan demikian, Borneo sudah punya empat pemain impor untuk mengarungi kompetisi.
Empat pemain asing juga dimiliki oleh PSM Makassar. Juku Eja mendaftarkan Willem Jan Pluim (Belanda) dan Steven Paulle (Prancis) sebagai marquee player karena sebelumnya berkiprah di liga elite Eropa. Keduanya menjadi amunisi impor bersama masing-masing seorang pemain asal Belanda dan Australia.
Tak mau ketinggalan, Persela Lamongan juga baru saja meresmikan pemain Portugal, Jose Manuel Barbose Alves alias Jose Coelho sebagai pemain asing istimewa yag sekaligus membuat Laskar Joko Tingkir punya empat pilar impor. Jendela transfer pemain masih terbuka hingga 30 April nanti sehingga potensi bertambahnya para bintang tenar internasional masih cukup besar.
Isu-isu kemudian berkembang. Mantan penyerang Tottenham Hotspur Robbie Keane dan mantan gelandang Liverpool Mohamed Sissoko dikaitkan dengan Bali United. Sriwijaya FC dihubungkan dengan eks penyerang Manchester United dan tim nasional Bulgaria, Dimitar Berbatov. Sementara itu, Persija Jakarta dikabarkan mengincar mantan pemain tim nasional Portugal yang pernah memperkuat Liverpool dan Chelsea, Raul Meireles.
Fenomena marquee player sejatinya bukan hal baru di sepak bola Indonesia. Pahlawan Argentina di ajang Piala Dunia, Mario Kempes dan bintang legendaris Kamerun Roger Milla pernah meramaikan kompetisi Indonesia saat direkrut Pelita Jaya pada 1990-an. Namun, mereka yang direkrut sudah melebihi usia 40 tahun saat itu tidak lantas mampu membawa timnya juara.
Untuk mendongkrak popularitas klub sehingga menarik minat sponsor, perekrutan pemain impor tenar ini boleh saja merupakan strategi mujarab. Lihat saja Persib yang langsung dikeroyok belasan sponsor begitu Essien dan Cole merapat di Bandung. Para pemain bintang ini juga harus diakui akan ikut membuat nama Indonesia mendunia.
Namun, perlu digarisbawahi pula, kehadiran para mantan bintang tenar itu tidak menjamin prestasi di lapangan. Marquee player tidak serta-merta membuat tim lebih kuat karena pada kenyataannya, para bintang yang direkrut merupakan pemain-pemain yang sudah uzur dan melewati periode terbaik permainannya. Malahan, beberapa di antaranya sudah bertahun-tahun tidak bermain akibat riwayat cedera berkepanjangan dan bahkan dicap perekrutan gagal oleh klub sebelumnya.
Kondisi ini tentu berbeda dengan perekrutan pemain bintang internasional di Liga Tiongkok atau Amerika Serikat yang melibatkan pemain-pemain bintang kompetitif dengan kualitas masih mumpuni.
Oleh karena itu, pada Liga 1 nanti, bukan berarti tim-tim kaya yang diperkuat marquee player bakal lebih dominan ketimbang tim-tim yang bermodalkan kolaborasi pemain lokal dan pemain asing biasa. Tim-tim biasa yang tak mampu merekrut marquee player tidak seharusnya khawatir untuk melakoni persaingan Liga 1.
Kemenangan Bali United atas Persib Bandung pada laga uji coba di Bandung akhir pekan lalu adalah bukti bahwa keberadaan marquee player tak berbanding linier dengan hasil apik di lapangan. Diperkuat oleh Essien dan Cole, Persib nyatanya tidak menjadi jauh lebih kuat dibandingkan dengan Bali United yang menurunkan mayoritas pemain muda dan tiga pemain impor biasa.
Kedua pemain bintang internasional supermahal untuk ukuran Indonesia itu tak memberi kontribusi signifikan pada performa tim. Persib tetap kepayahan bahkan sempat kebobolan dua gol sebelum akhirnya kalah 1-2 di hadapan pendukungnya sendiri.
Lantas, apakah marquee player ini akan menambah kualitas liga atau sekadar tren gaya-gayaan sebagai pengatrol pamor klub dan kompetisi ? Masih menjadi misteri besar.
Source: Berit7