Batu dan botol melayang, disertai kemunculan spanduk-spanduk kebencian. Ini dilakukan sejumlah suporter Dortmund ke arah kubu yang ketika itu menjadi tim tamu RB Leipzig. Pertandingan Borussia Dortmund dengan RB Leipzig di Bundesliga akhir pekan lalu diwarnai aksi kekerasan. Ada nuansa berbeda dalam insiden ini, dengan pola pengelolaan sepakbola Jerman turut melatarbelakangi.
Saat ini Leipzig, pada musim pertamanya di liga teratas Jerman, sedang bercokol di posisi dua klasemen mengejar tiket ke Liga Champions. Kebencian itu disebabkan karena klub dimiliki Red Bull sebagai pemilik tunggal.
“Binasakan banteng,” tulis sebuah spanduk, dengan spanduk lain berbunyi, “Red Bull, musuh sepakbola”. Itu cuma segelintir dari banyak spanduk-spanduk lain dengan bahasa yang kurang patut.
Ada pula aksi kekerasan yang mengiringi dengan BBC mencatat, “Keluarga-keluarga jadi sasaran serangan, dan enam suporter dan empat polisi terluka.”
Pada dasarnya bukan cuma Dortmund saja yang merasa sedemikan bencinya kepada Leipzig.
“Beberapa pekan lalu salah satu tabloid, Berliner Kurier, bahkan menolak untuk menulis nama klub itu dan menggunakan istilah yang menghina, ‘Dosenverkauf’, di klasemen Bundesliganya,” tulis BBC.
Dosenverkauf. Artinya kira-kira adalah tukang jualan kaleng, yang sekali lagi tentu saja merujuk pada fakta bahwa Leipzig dimiliki oleh Red Bull. Menjual (kaleng-kaleng) minuman berenergi adalah bisnis inti dari Red Bull.
Sejak perusahaan itu membeli sebuah tim di Leipzig pada 2009, telah ada banyak penghinaan-penghinaan serupa. Fakta bahwa RB Leipzig, demikian nama klub itu menjelma, sudah menjalani empat promosi dalam tujuh musim tidak membantu mengurangi kebencian untuk yang ini boleh jadi dilatarbelakangi kecemburuan.
Mengupas lebih dalam mengenai hal ini BBC menyebut bahwa, “secara tradisional klub-klub sepakbola Jerman dijalankan tanpa investor tunggal kaya raya. Secara umum klub-klub sepakbola di Jerman dipegang oleh para anggota direksi yang mesti mengendalikan mayoritas saham sebagai entitas pemilik tim. Tapi RB Leipzig cuma punya 17 anggota direksi. Ini masih dalam koridor aturan tersebut, tapi secara semangat tidak.”
Chief Executive Borussia Dortmund Hans-Joachim Watzke tercatat menjadi salah satu yang pernah melontarkan kritik keras terhadap pola itu. Ia menilai keberadaan RB Leipzig hanyalah sebagai alat untuk mendorong penjualan Red Bull.
Di sisi lain, ada pula yang berargumen bahwa keberadaan RB Leipzig bukan cuma diperlukan oleh kota tersebut melainkan juga wilayah sekitarnya, mengingat sejak unifikasi pada 1990 silam sepakbola Jerman Timur tak bisa bicara banyak di hadapan klub-klub dari wilayah Jerman Barat lebih banyak menggebrak.
Bicara mengenai RB Leipzig dari segi keolahragaan, seperti disinggung sebelumnya, klub yang berulang tahun setiap tanggal 19 Mei itu sebenarnya juga tak serta-merta melejit naik. Kedatangan Ralf Rangnick sebagai direktur olahraga pada 2012, setelah itu juga sempat turun langsung menjadi pelatih, digadang-gadang sebagai titik balik. Empat musimnya di RB Leipzig ditandai dengan tiga kali promosi.
Source: Berit7