berita7up.com – Karena sepakbola adalah hak segala bangsa, maka tak ada yang berhak melarang siapa pun bermain bola. Siapa pun boleh main bola, siapa pun bisa saja membuat sebuah kesebelasan: mau laki-laki atau perempuan, tua atau muda, homo atau heteroseksual, hingga agamis atau ateis. Jika sipil boleh bermain bola atau membuat kesebelasan, tentu militer pun boleh.
Tentu saja tentara boleh main bola, juga berhak ikut kompetisi. Tidak bisa disangkal, keterlibatan tentara dalam sepakbola Indonesia sudah berlangsung lama — jauh sebelum era sawan turnamen seperti sekarang.
Sejarah PSSI, misalnya, lekat sekali dengan militer. Mayoritas Ketua Umum PSSI adalah orang militer, setidaknya pernah aktif memegang senjata. Pendiri PSSI, Ir. Soeratin, pernah aktif dalam medan perjuangan bersenjata di masa revolusi. Dari Maladi, Maulwi Saelan, Bardosono,. Ali Sadikin, Sjarnoebi Said, Kardono, Azwar Anas hingga Agum Gumelar adalah nama-nama tentara yang pernah menjadi pemimpin tertinggi PSSI.
Lagi pula, tentara atau kepolisian ikut kompetisi profesional merupakan hal jamak di banyak negara — misalnya di Asia Tenggara dan Asia. Di liga Malaysia ada Angkatan Tentara Malaysia (ATM FA). Di Singapura ada Singapore Armed Forces Football Club (kini menjadi Warriors FC) juga Home United FC (dulunya Police Football Club, kini gabungan kepolisian, Kementerian Dalam Negeri dan dinas imigrasi). Di Thailand ada Army United dan Air Force Central. Di Korea Selatan ada Sangju Sangmu FC (tentara) dan Ansan Mugunghwa FC (kepolisian).
Keterlibatan tentara dalam sepakbola Indonesia memang tidak terhindarkan — tapi bukan semata karena faktor kesejarahan atau ikut-ikutan tren di beberapa negara yang sudah saya sebutkan. Keterlibatan tentara tidak terhindarkan karena aspek-aspek lain yang tidak kalah penting dari dua hal itu.
Pertama, faktor infrastruktur. Pemilik lapangan sepakbola terbanyak di Indonesia itu bukan PSSI maupun asprov atau klub sepakbola, melainkan pemerintah. Lupakan dulu soal stadion sepakbola, melainkan pada ketersediaan lapangan. Dalam soal itu, TNI adalah salah satu institusi pemerintah (jika bukan satu-satunya) yang memiliki fasilitas lapangan sepakbola terbanyak di Indonesia. Dari tingkat Mabes hingga Koramil, bertebaran lapangan-lapangan sepakbola. Sangat biasa kita menemukan lapangan sepakbola di setiap tangsi, dari tangsi detasemen/bataliyon/resimen. Bukan hal langka jika mess tentara pun dilengkapi fasilitas lapangan sepakbola. Dan itu terbentang dari Aceh hingga Papua.
Ketika ruang-ruang publik di kota-kota besar mulai tergusur, termasuk lapangan sepakbola, lapangan-lapangan yang berada di lingkungan militer relatif masih terjaga. Banyak kesebelasan elit Indonesia yang menggunakan lapangan-lapangan militer untuk latihan sehari-hari karena bahkan klub profesional pun banyak yang tak punya lapangan untuk latihan.
Amat menyenangkan membayangkan lapangan-lapangan itu bisa diakses oleh publik. Persoalan infrastruktur yang banyak menjadi kendala pengembangan sepakbola Indonesia, dari tingkat SSB hingga profesional, akan sangat terbantu oleh lapangan-lapangan militer itu. Biar bagaimana pun, lapangan-lapangan sepakbola itu adalah aset negara — tentu saja dengan tidak mengabaikan aspek keamanan.
Kedua, keberadaan kesebelasan-kesebelasan militer di level amatir. Hampir setiap angkatan mempunyai kesebelasannya sendiri-sendiri. Pecinta sepakbola yang lama mengamati sepakbola Indonesia tentu akrab dengan nama PSAD (Persatuan Sepakbola Angkatan Darat), PSAU (Persatuan Sepakbola Angkatan Udara) dan PSAL (Persatuan Sepakbola Angkatan Laut). Tiga nama itu, hebatnya lagi, tidak hanya ada di tingkat pusat. Banyak daerah yang punya PSAD, PSAU atau PSAL-nya masing-masing.
Sampai batas tertentu, setidaknya di kesebelasan-kesebelasan yang akarnya ada di lingkungan perserikatan, kesebelasan-kesebelasan militer itu menjadi salah satu soko guru. Mereka terlibat aktif dalam kompetisi internal kesebelasan-kesebelasan (yang dulunya perserikatan). Di hampir setiap tim besar perserikatan yang memutar roda kompetisi internal, selalu ada — minimal satu– kesebelasan militer itu.
Persoalan menjadi lain ketika hendak bermain bola di level profesional. Tidak gampang untuk bergabung di kompetisi resmi, baik semi-pro maupun profesional. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Semua persyaratan itu harus dipenuhi bukan untuk mempersulit yang sebenarnya gampang, tapi justru agar tidak menggampang-gampangkan persoalan hanya karena, misalnya, punya cukup duit.
Kalau pun punya uang, tidak sembarang uang boleh diputar di ajang kompetisi profesional. Anggaran negara, baik APBD maupun APBN, tak boleh lagi digunakan untuk sepakbola profesional. Mencari sponsor jelas menjadi keharusan, tapi bisakah dan bolehkah institusi pemerintah seperti TNI/Polri mencari sponsor? Perundang-undangan jelas tidak membolehkan hal itu.
Belum aspek-aspek lain di luar soal uang. Setidaknya ada empat aspek lain, selain soal finansial, yang mesti dipenuhi oleh setiap klub yang ingin mendapatkan lisensi sebagai klub pro (merujuk standar AFC). Empat aspek selain finansial itu adalah aspek legal, aspek sporting, aspek personalia dan administrasi serta aspek infrastruktur.
Sebab kompetisi sepakbola bukan cuma perkara duit untuk semusim dua musim, tapi ada hal lain yang tak kalah penting: keberlanjutan.
Sangat banyak orang kaya Indonesia yang suka sepakbola dan beberapa di antaranya mampu-mampu saja untuk mendanai sebuah kesebelasan. Persoalannya, berapa banyak uangnya dan berapa lama sanggup terus menerus mensubsidi? Tidak semua orang kaya penggemar bola seperti Glenn Sugita, misalnya, yang bisa membangun Persib Bandung menjadi lebih survive (setidaknya hingga hari ini). Bukankah kita lebih sering mendengar cerita tentang kesebelasan yang jor-joran di satu atau dua musim tapi kemudian berantakan dan hancur lebur hanya karena sang bohir (entah politisi, pengusaha, atau pejabat publik) tak mau lagi mengucurkan uang (dengan berbagai alasan).
Belum soal aspek legal. Kesebelasan yang selama ini bermain di ISL diwajibkan berbadan hukum PT (walau pun masih ada saja yang bandel dan tidak mengurusnya — juga dibiarkan saja, sampai kemudian BOPI bersikap keras). Sudah jelas institusi pemerintah, termasuk TNI/Polri, tidak boleh mendirikan entitas binis semacam PT. Pasca reformasi, jangan lupa, “bisnis militer” adalah isu yang sensitif dan rentan kena kritik sana sini.
Jika persyaratan infrastruktur tidak akan menjadi persoalan PS TNI, karena PS TNI punya Stadion Siliwangi dan fasilitas latihan berupa lapangan sepakbola yang berlimpah di seantero Bandung (PS TNI akan menjadi satu-satunya kesebelasan yang punya stadion sendiri, kesebelasan lainnya hanya menumpang stadion milik Pemda/Pemkot/Pemkab), maka aspek legal inilah yang menjadi persoalan paling pelik jika tentara atau polisi akan ikut kompetisi profesional. Ada opsi alternatif: kesebelasan TNI/Polri yang akan bertarung di kompetisi profesional menggunakan payung koperasi karyawan yang lahir dari rahim militer/kepolisian.
Persoalannya, aspek legal keharusan berbadan hukum itu, dalam kasus Indonesia, entah mengapa seakan disempitkan sebagai keharusan mendirikan sebuah PT. Padahal badan hukum bukan hanya PT.
Inilah yang menjadi awal persoalan yang melatari konflik kepentingan dan kepemilikan di klub-klub eks perserikatan. Posisi klub-klub anggota, yang puluhan tahun menjadi soko guru klub perserikatan, menjadi rumit dalam skema PT. Mereka harus berhadapan dengan para pemilik modal yang datang belakangan dan sekonyong-konyong menjadi pemilik saham (Persib salah satu yang punya persoalan ini dan sejauh ini persoalan belum sepenuhnya tuntas). Akan berbeda jika klub-klub eks perserikatan itu dibolehkan memilih badan hukum selain PT, misalnya koperasi. Real Madrid, Barcelona atau Athletic Bilbao adalah sedikit contoh kesebelasan top dunia yang berbadan hukum koperasi, bukan korporasi (PT).
Mengambilalih klub yang sudah eksis lebih dulu, entah dengan istilah akuisisi, pembelian, merger, tukar guling atau apalah apalah apalah itu namanya, adalah opsi yang bagi saya sangat bermasalah.
Pertama, lagi-lagi soal keberlanjutan. Sudah sangat banyak klub di Indonesia yang berpindah kota, berganti pemilik dan berganti nama. Tapi nyaris semuanya bermasalah. Sejauh ini, baru Sriwijaya FC yang relatif sudah teruji keberlanjutannya semenjak mengambil Persijatim Solo FC. Beberapa tahun mendatang, kita akan melihat apakah Pusamania Borneo FC (yang sebelumnya bernama Perseba Bangkalan) bisa terus eksis sebagaimana Sriwijaya FC.
Katakanlah Panglima TNI atau Kapolri sekarang punya komitmen dalam sepakbola, sampai berapa lama komitmen ini akan bertahan? Kita tahu pucuk kepemimpinan di setiap institusi pemerintah akan berganti secara berkala. Kesebelasan eks perserikatan, yang intim dengan penguasa daerah, sudah hafal seperti apa rasanya dan dampaknya jika pucuk kepemimpinan daerah berganti dari orang yang gila bola ke orang yang tidak peduli dengan sepakbola. Tanyakanlah hal itu kepada, misalnya, suporter Persik Kediri.
Kedua, opsi macam itu menyisakan persoalan lain yaitu nasib kesebelasan yang diambil-alih. Persijatim FC, sejak menjadi Persijatim Solo FC dan lantas menjadi Sriwijaya FC, tidak pernah lagi berkiprah di kompetisi sepakbola nasional. Itulah yang terjadi di Rengat, misalnya, setelah Persires mengembara di berbagai kota dengan bersalin nama berkali-kali (dari Bali hingga Kuningan). Pembinaan dan atmosfir sepakbola di Rengat dengan sendirinya meredup.
Bersama redupnya sepakbola di Rengat, ada banyak mimpi, harapan, dan cita-cita anak-anak Rengat yang ingin menjadi pemain bola mungkin harus dilupakan. Ada harga yang mungkin harus dibayar jika sebuah kesebelasan berganti pemilik atau berpindah tempat: redupnya atmosfer sepakbola di sebuah tempat. Juga sejarah, serta tradisi, dan ingatan kolektif, yang mesti tutup buku.
Ketiga, dan ini yang terpenting, regulasi yang tidak jelas. Baru-baru ini publik sepakbola dihentak oleh pernyataan Tigor Shalom Boboy, salah satu petinggi PT Liga Indonesia, yang mengatakan Persipasi Bandung Raya tidak pernah terdaftar di PT Liga. Ini lucu karena nama Persipasi Bandung Raya disebut-sebut dalam berbagai pemberitaan sebagai peserta ISL 2015 (kala itu bernama QNB League) sebelum dihentikan karena polemik dengan BOPI.
Pelita Jaya adalah bagian tak terpisahkan dari kerumitan terkait perubahan nama, home base atau kepemilikan sebuah klub di Indonesia. Pelita sudah berkali-kali ganti nama, dari Pelita Mastrans, Pelita Jaya Karawang, Pelita Jaya Purwakarta, Pelita Bandung Raya, Persipasi Bandung Raya hingga (terakhir dan konon) Pelita Madura United. Ini belum menghitung merger atau apalah apalah apalah namanya dengan Arema Indonesia, atau Arema Malang, yang memunculkan nama Cronus di balakang nama Arema.
Trayek perpindahan/pergantian atau apalah apalah apalah namanya dari sejarah Pelita ini membuatnya bisa bersaing dengan Primajasa atau Kramat Djati atau Sumber Kencono. Jika Pelita adalah PS alias Pesatuan Sepakbola (FC dalam bahasa Inggris), sementara nama-nama terakhir itu adalah PO (Perusahaan Otobus). Pelita adalah “nama generik” dari ketidakjelasan dan kesemrawutan regulasi dalam perkara perubahan nama, home base atau kepemilikan sebuah klub di Indonesia — sebagaimana odol yang dulunya hanya merk dagang pasta gigi, kini sinonim dengan pasta gigi itu sendiri.
Perubahan nama, home base atau kepemilikan sudah lama menjadi persoalan laten dalam sepakbola Indonesia. Ketidakjelasan itulah yang membuat saya, berkali-kali, menggunakan diksi “apalah apalah apalah namanya” untuk kesemrawutan ini. Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi: akuisisi, pembelian, merger, sekadar pindah home base, dan ganti nama ataukah tukar guling, tukar kasur atau tukar bantal? Kesimpangsiuran soal Persipasi Bandung Raya adalah contoh mengapa kita layak menyebut persoalan laten ini sebagai “apalah apalah apalah namanya”.
Membawa bendera PS TNI atau PS Polri, hingga batas tertentu, membawa-bawa nama pemerintah. Dan tugas pemerintah, dalam urusan olahraga profesional, adalah membangun regulasi agar lahir atmosfer (industri) sepakbola yang sehat — usaha yang sudah dimulai oleh BOPI yang bersikap tegas dalam kurun 1,5 tahun terakhir ini. “Terjun bebas” dalam kompetisi sepakbola profesional dengan cara bypass membeli/mengakuisisi/merger atau apalah apalah apalah namanya bukanlah contoh yang baik bagi institusi pemerintah.
Jika pun PS TNI atau PS Polri ingin terlibat dalam kompetisi profesional, pilihan untuk merangkak dari bawah, mengikuti lajur piramida kompetisi, saya kira akan jauh lebih bermartabat. Ini akan menjadi contoh yang hebat, juga model yang sehat, bagi siapa pun orang (kaya) baru yang ingin masuk ke sepakbola Indonesia. TNI/Polri akan dengan gagah bisa berkata: “Hey, kau Bohir, jangan sok punya uang terus bisa nyelonong gitu aja. Kami saja merayap dari bawah, kok.”
Pilihan mengikuti piramida kompetisi dari bawah juga akan menghindarkan TNI/Polri terseret dalam konflik kepentingan sepakbola Indonesia. Jangan sampai hasrat dan ambisi besar TNI/Polri untuk bermain di level tertinggi kompetisi profesional dipakai orang lain sebagai alat barter untuk memuluskan agenda-agenda tertentu, dari perkara perizinan hingga perkara-perkara yang lain.
Dengan cara inilah, saya kira, TNI/Polri sebagai institusi pemerintah bisa ikut andil dalam memberi contoh yang sehat. Agar kompetisi sepakbola Indonesia menjadi profesional, bukan pura-pura profesional, atau apalah apalah apalah namanya….
Source: 7upAsia