www.bola7up.com – Danny Ings, Mampukah Patahkan Kutukan Striker Inggris Di Anfield?
Mungkin hari ini surat kabar di Merseyside sedang dipenuhi oleh gambar seorang pemuda Inggris yang terbilang asing. Mungkin juga gambar pemuda itu tengah menaungi headline setiap surat kabar di sana. Ia terlihat mengenakan seragam dengan kombinasi warna merah marun di bagian badan dan biru muda di lengan serta kerah. Entah pose apa yang diambil dan dipasang di sana, mungkin sedang berselebrasi, menggocek bola? Ah, siapa peduli.
Gambar itu hanyalah pengantar, sebuah ilustrasi dari momen yang baru saja terjadi kemarin (8/6), yaknikesepakatan transfer Danny Ings dari Burnley ke Liverpool. Pemuda Inggris berusia 22 tahun itu merapatkan diri ke Anfield di penghujung kontraknya dengan Burnley. Ia datang dengan gratis – tapi masih ada kompensasi sana-sini yang sepertinya harus dibayar The Reds.
Ings menjadi transfer kedua Liverpool di bursa transfer kali ini, tepat beberapa pekan setelah James Milner juga dipastikan merapat ke Anfield. Keduanya merupakan pemain berkebangsaan Inggris dan keduanya sama-sama menimbulkan kontroversi.
Bukan kontroversi di lapangan tentunya, tapi kontroversi soal masa depan mereka. Kedatangan dua penggawa The Three Lions itu mengundang tanda tanya dari berbagai pihak: Mampukah mereka mengembalikan kejayaan Liverpool?
Khusus untuk Ings, memang tidak seharusnya ia dibebani tanggung jawab sebesar itu ketika musim saja belum dimulai, apalagi ia masih muda. Tapi media-media tentu tergelitik ketika menyaksikan adanya penyerang Inggris yang merapat ke Anfield. Pasalnya, torehan sejarah Liverpool sejak era Liga Primer Inggris menunjukkan kalau rekrutan striker Inggris kerap kali ambyar – hanya sedikit yang mampu meninggalkan kesan manis.
Daniel Sturridge jadi rekrutan penyerang Inggris “termanis” di Liverpool sejak era Liga Primer.
Ini merupakan kutukan kedua yang diterima The Reds sejak era Liga Primer bergulir – kutukan pertama tentu saja kutukan tanpa gelar liga. Sejak era tersebut, rekrutan berkebangsaan Inggris yang merapat ke Anfield kerap kali melempem. Tak peduli segemilang apapun mereka di periode sebelumnya, penyerang-penyerang itu selalu mengalami kejatuhan di Liverpool.
Dimulai dari Stan Collymore. Penyerang itu jadi properti panas ketika tampil tajam bersama Nottingham Forest dan mencetak 41 gol dalam dua musim di Liga Primer. Manchester United, Newcastle United, Everton, dan Liverpool menginginkan tanda tangannya. Namun karena berbagai macam hal, Collymore memilih Anfield.
Di musim pertamanya, Collymore menyajikan aksi-aksi yang menjanjikan. Duetnya bersama Robbie Fowler menjadi duet paling ditakuti dan paling subur seiring 55 gol mereka ciptakan. Tak heran, Collymore sampai menggeser Ian Rush yang mulai menua dan dipanggil beberapa kali untuk membela The Three Lions.
Sayang, masalah di luar lapangan serta kontroversi membuatnya keluar-masuk bangku cadangan. Pelatih Roy Evans bahkan menyingkirkannya secara halus ketika Patrik Berger dan Michael Owen mengambil alih posisinya. Collymore tampil gemilang di musim pertamanya, tapi harus tersingkir dan akhirnya dijual ke Aston Villa karena kontroversinya.
Setelah transfer Collymore yang – lumayan – sukses, transfer penyerang Inggris mengalami penurunan grafik yang signifikan. Kedatangan Emile Heskey dari Leicester City di periode 2000/01 gagal menjawab ekspektasi karena hanya mampu mencetak 60 gol dari 223 penampilannya. Kemudian, kedatangan Peter Crouch dari Southampton juga terbilang mengecewakan. Ia hanya mampu mencetak 43 gol dari 134 penampilan.
Kekecewaan akan transfer striker Inggris akhirnya memuncak di awal tahun 2011. Kenny Dalglish mendatangkan Andy
Carroll ke Anfield dengan banderol £35 juta, rekor transfer saat itu sekaligus menjadi pemain termahal sepanjang sejarah The Reds. Ekspektasi tinggi menjuntai sontak mengarah pada mantan penyerang Newcastle tersebut, tetapi sang penyerang Inggris tak mampu menjawabnya.
Masalah cedera mengganggu penampilan Carroll di musim pertamanya bersama The Reds. Ia baru melakoni debutnya pada 6 Maret 2011 dan hanya mencetak dua gol hingga musim berakhir. Di musim selanjutnya, Carroll mendapat lebih banyak kesempatan, tapi ia gagal mereplika kesuksesannya bersamaThe Magpies. Dengan harga £35 juta, Carroll hanya mampu mencetak 9 gol dalam 47 penampilannya.
Kisah antara Carroll dan Liverpool akhirnya berakhir di musim mengecewakan tersebut, seiring The Redsmeminjamkan Carroll ke West Ham United, sebelum mematenkan transfer sang penyerang.
Daniel Sturridge yang didatangkan dari Chelsea di 2013 menjadi satu-satunya rekrutan Inggris yang manis bagi Liverpool. Dengan nilai transfer £12 juta, Sturridge telah mencatatkan 40 gol dari 67 penampilan. Adapun musim terkininya di Anfield tak berjalan lancar karena cedera yang ia dapatkan nyaris sepanjang musim, seiring Rickie Lambert sebagai striker Inggris lainnya juga gagal menjawab ekspektasi Liverpool.
Carroll datang dengan harga £35 juta, tapi tak mampu menjawab ekspektasi sedikitpun.
Rentetan rekor buruk pembelian Liverpool – yang akhirnya jadi kutukan – untuk penyerang Inggris tentu bakal menambah beban Danny Ings. Apalagi banyak kesamaan antara penyerang-penyerang gagal tersebut dengan Ings: semuanya berasal dari tim medioker, lalu merapat ke Liverpool yang punya sejarah besar.
Heskey dari Leicester, Crouch dari Southampton, Carroll dari Newcastle, hingga Lambert dari Southampton lagi, semuanya sukses di tim papan tengah sebelum akhirnya mendapat ekspektasi yang lebih besar di Anfield – lalu terjatuh. Curriculum Vitae mereka berbeda dengan Sturridge yang mungkin sudah terbiasa dengan beban mental serta atmosfer besar Chelsea, serta Michael Owen dan Robbie Fowler (keduanya asal Inggris dan sukses) yang besar di bawah kebesaran Liverpool.
Kualitas Ings – kecepatan, pergerakan tanpa bola, naluri gol – merupakan kualitas papan atas dan bakal disambut dengan terbuka oleh Liverpool. Namun hal yang kiranya bakal menjadi masalah adalah bagaimana ia memandang transfer tersebut secara mental.
Kita telah menyaksikan beberapa pemain berbakat yang melakukan lompatan besar ke Liverpool dan ternyata justru tertelan oleh atmosfer serta ekspektasi besar klub. Carroll dan pendahulunya jadi contoh nyata, tak heran kalau fans The Reds masih sangsi akan kesuksesan Ings.
Ings pergi dari Burnley sebagai pahlawan, dihormati oleh rekan setimnya, dan diidolakan oleh para suporter. Namun di Liverpool nanti, ia bukan siapa-siapa, wajah baru dalam skuat yang harus bersaing keras setiap pekannya. Perubahan di sekeliling serta perubahan target – dari klub yang menghadapi relegation battle ke klub yang mengharapkan title challenge – juga bisa jadi masalah bagi Ings yang masih muda.
Di Burnley, 11 gol dalam 37 penampilan merupakan prestasi. Di Liverpool, tiga sampai empat laga tanpa gol bakal dicap sebagai kegagalan. Apalagi Liverpool tak dikaruniai penyerang tajam musim lalu dan Ings sepertinya takkan langsung mengamankan posisi utama. Apakah ia mampu bersinar di klub yang menuntutnya untuk tampil dominan dalam semusim? Akankah ia diminta mengganti gaya permainan oleh Brendan Rodgers, jika begitu, mampukah ia menghadapinya?
Tentu saja ia akan bekerja keras untuk menjawabnya. Mereka yang mengenal Ings selalu bicara tentang karakternya yang kuat, selalu berlatih keras untuk mengembangkan diri. Setidaknya Liverpool selalu menghargai siapapun yang bekerja keras untuk klub mereka, dan karakter tersebut bisa menjadi kekuatan Ings. John Aldridge pun mengamininya, sekaligus mengagumi potensi yang dimiliki Ings.
Lalu, apakah kutukan penyerang Inggris Liverpool bakal patah di kaki Ings? Atau ia hanya jadi penerus Carroll dkk? Atau malah lebih buruk? Mampukah ia sukses dan menjadi jawaban Liverpool selama ini? Tentu masih banyak pertanyaan dan keraguan yang timbul setelah kedatangan Ings, apalagi jika Anda adalah fans Liverpool.
Tapi biarkan waktu – dan kerja keras Ings – yang menjawabnya.
Source: 7upAsia