berita7up.com –
Bonek merupakan singkatan dari Bondo Nekat. Bondo adalah bahasa Jawa yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti aset, sumber daya, modal, barang yang digunakan sebagai dasar atau bekal untuk bekerja. Nekat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri artinya berkeras hati, dengan keras atau kuat kemauan, terlalu berani (dengan tidak berpikir panjang lagi), tidak mau menyerah, mengotot. Dua perpaduan kata yang bisa menggambarkan secara utuh bagaimana wajah suporter sepak bola yang mengemban nama ini.
Sesuai dengan namanya, kenekatan jadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari pergerakan Bonek, basis suporter Persebaya Surabaya. Dari nekat berangkat ke daerah lain demi mendukung Persebaya tanpa pusing memikirkan berapa lembaran uang di saku atau dompet mereka, mau makan apa di sana, tidur di mana, sampai nekat menunjukkan perlawanan pada penguasa atas ketidakadilan yang dialami Persebaya yang membuat Bonek merelakan kebahagiaan utama mereka sebagai suporter sepak bola, mendukung dari tribun.
Bonek kini menjadi sebuah simbol terbesar dalam perlawanan terhadap arogansi penguasa tertinggi sepak bola Indonesia, PSSI
Ya, Stadion Tambaksari tak lagi dipenuhi barisan suporter berbaju hijau yang begitu gemuruh sepanjang 90 menit menyuarakan dukungan untuk Green Force, julukan Persebaya. Tapi, sesuai dengan namanya yang sama sekali tak menggunakan embel-embel nama klub yang didukungnya, Bonek sebenarnya adalah identifikasi dari semangat dan keberanian. Entah kebetulan atau memang nama ini begitu visioner, Bonek kini menjadi sebuah simbol terbesar dalam perlawanan terhadap arogansi penguasa tertinggi sepak bola Indonesia, PSSI. Bonek, tanpa Persebaya yang tengah mati suri, tetap eksis, bernafas demi keadilan yang mereka perjuangkan.
Lahirnya istilah Bonek
Agak rumit ketika harus merunut sejarah lahirnya istilah Bondo Nekat. Namun dalam sebuah tulisan, Aqwam Fiazmi Hanifan menceritakan bahwa istilah Bonek lahir melalui campur tangan media pada pertengahan 1980an. Adalah Jawa Pos yang saat itu dijadikan corong pergerakan suporter Persebaya Surabaya, yang mencetuskan istilah ini.
Suporter klub berjuluk Bajul Ijo ini sedari awal memang merupakan kelompok suporter yang tidak memiliki struktur organisasi resmi. Aktivitas mereka dalam mendukung Persebaya tidak berada di bawah kuasa satu komando yang diberikan ke sosok-sosok tertentu. Dalam tulisan Oryza A. Wirawan, dijelaskan suporter Persebaya mengelompokkan diri sesuai dengan daerah kampung atau kota mereka masing-masing. Tak hanya suporter kelompok kampung seperti Arek Manukan, Arek Rungkut, Arek Sawahan, dan nama-nama kampung atau area lainnya di wilayah Surabaya, tapi para suporter Persebaya yang berasal dari luar kota pun menamakan diri mereka sesuai dengan kota asal mereka. Maka jangan heran jika ada sebutan Arek Jember, Arek Mojokerto, Arek Gresik, Arek Sidoarjo, dan sebagainya. Arek itu sendiri berarti bocah, orang, pemuda. Namun sejak sebutan Bonek muncul, kelompok suporter Persebaya ini mengganti sebutan Arek di depan daerah asal mereka dengan Bonek.
Petinggi Jawa Pos saat itu, Dahlan Iskan, dan walikota Surabaya, dr. Poernomo Kardisi, bekerja sama untuk membangkitkan gairah sepak bola di Surabaya di tengah menurunnya prestasi Persebaya
Jawa Pos sendiri berperan penting dalam membangun identitas suporter Persebaya tiga dekade silam. Petinggi Jawa Pos saat itu, Dahlan Iskan, dan walikota Surabaya, dr. Poernomo Kardisi, bekerja sama untuk membangkitkan gairah sepak bola di Surabaya di tengah menurunnya prestasi Persebaya yang hanya menduduki peringkat sembilan dari sepuluh kontestan pada 1985 di kompetisi Perserikatan.
Sebenarnya, tak ada yang betul-betul bisa memastikan kapan sebutan Bonek ini muncul. Bung Aqwam dalam tulisannya menyebutkan bahwa ada kemungkinan istilah itu lahir dari lidah seorang penyiar radio bernama Amin Istigfarin. Tetapi, ia juga memastikan bahwa Jawa Pos pertama kali menuliskan istilah itu di halamannya pada 8 November 1988. Lalu mana yang lebih dulu? Menurut salah satu sosok Bonek kawakan, yang biasa ngetwit lewat akun anonim @bonekcasuals, menyebutkan bahwa koran Jawa Pos lah yang pertama kali memunculkan istilah Bonek, lewat artikel yang ditulis oleh seorang wartawan bernama Abdul Muis.
Munculnya istilah tersebut di koran Jawa Pos sendiri dipicu oleh insiden ‘penumpang gelap’ dalam kunjungan Bonek ke Semarang untuk mendukung timnya menjalani laga Kualifikasi Wilayah Timur menghadapi PSIS Semarang di Stadion Citarum. Jawa Pos mencatat bahwa jumlah suporter yang terdaftar resmi dalam rombongan “Tret-tet-tet”, istilah aktivitas suporter yang bertandang ke kandang lawan yang diorganisir oleh Jawa Pos, sebenarnya hanya 1000 orang, tetapi dalam kenyataannya jumlah itu malah membengkak hingga 1500 orang. Para penumpang tambahan itulah yang kemudian disebut dengan Bonek.
Yang patut dicatat, sekalipun Jawa Pos sangat terlibat dalam pergerakan suporter Persebaya saat itu, Bonek tetap menjadi kelompok suporter tanpa struktur spesifik sampai sekarang. Campur tangan media tak menghapuskan kultur Bonek yang sepertinya memang sengaja menghindarkan diri dari struktur kekuasaan yang beresiko menguapkan kesetaraan pada sesama Bonek dan berujung pada perpecahan.
Menelusuri asal mula logo ini tak sesulit mencari tahu siapa yang sebenarnya melontarkan sebutan Bonek untuk kali pertama. Logo yang saat ini digunakan Bonek adalah karya dari Pak Boediono, mantan ilustrator koran Jawa Pos.
Ya, media itu sekali lagi terlibat dalam pembentukan identitas suporter Persebaya. Dalam artikel Jawa Pos berjudul ‘Sejarah Ndas Mangap, Si Rambo Kebanggaan Persebaya’ yang terbit pada 2 Oktober 2015 lalu, terungkap bahwa ‘Tret-tet-tet’ pertama suporter Persebaya di bawah koordinator Jawa Pos pada 1 Maret 1987 dalam laga menghadapi Persija menjadi awal dari terciptanya logo ‘Ndas Mangap’. Seluruh suporter Persebaya yang mengikuti ‘Tre-tet-tet’ kala itu diwajibkan mengenakan ikat kepala, termasuk Dahlan Iskan.
Logo Persebaya yang biasanya menghiasi artikel-artikel pemberitaan klub ini di Jawa Pos akhirnya tergantikan dengan foto Dahlan Iskan mengenakan ikat kepala bertuliskan ‘Persebaya 87′ berukuran 2 x 3 cm pada 3 Maret 1987. Namun, karena dinilai menggangu nilai artistik koran, Dahlan meminta grafis Jawa Pos kala itu, Mister Muchtar, untuk mereproduksi foto tersebut menjadi sebuah coretan tangan.
“Saya tahu dia asli Makassar yang eksplosif dan punya selera baik. Dia juga cinta sepak bola. Saya minta ciptakan logo yang bisa memberi semangat. Maka dia buat sketsa suporter yang lagi berteriak. Dengan ikat kepala. Saya langsung setuju. Sangat ekspresif,” kata Dahlan.
Mister Muchtar pun menciptakan sebuah logo baru yang menurut beliau merupakan gambaran ekspresi Dahlan berteriak. Pada edisi 4 Maret 1987 si “Ndas mangap” pertama kali tampil di publik. Bahkan, tak butuh waktu lama logo tersebut akhirnya digunakan secara luas oleh para pedagang yang menjual atribut Bonek dari kaos sampai striker.
Saya minta ciptakan logo yang bisa memberi semangat. Maka dia buat sketsa suporter yang lagi berteriak. Dengan ikat kepala. Saya langsung setuju. Sangat ekspresif
Seiring perjalanan waktu, logo Ndas Mangap beberapa kali mengalami perubahan hingga di tangan Pak Boediono, ilustrator Jawa Pos, terciptalah logo seperti yang sekarang ini. Kepala dengan rambut pendek gambaran rambut Dahlan Iskan berganti dengan rambut gondrong dan dengan siratan emosi yang lebih sangar. Memang wajar jika sepintas kita akan menerima kesan bahwa logo ini lebih mirip karakter Rambo, tokoh fiktif yang diperankan aktor terkenal Hollywood, Sylvester Stallone.
“Sebenarnya bukan Rambo, tapi sosok pahlawan arek-arek Suroboyo di zaman kemerdekaan. Gambaran pejuang itu kan rambutnya panjang, pakai ikat, pakai sarung atau bawa bambu runcing, itu yang ingin saya sampaikan,” ujar Boediono.
Fanatisme negatif dan perlawanan pada penguasa
Uang saku seadanya membuat mereka berbuat semaunya, seperti tidak membeli tiket, menerobos masuk stadion, melakukan penjarahan di toko-toko
Tak bisa dipungkiri bahwa perjalanan Bonek sebagai kelompok suporter yang luar biasa juga diwarnai dengan lembaran hitam. Rivalitas seringkali jadi alasan, namun banyak juga aksi-aksi kekerasan yang sama sekali tak terkait dengan sepak bola itu sendiri. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, kenekatan suporter Persebaya saat melakukan tret-tet-tet misalnya, berbekal uang saku seadanya – kurang dari lima ribu pun tak akan mengebiri niat mereka untuk mendukung Persebaya di luar kota – membuat mereka berbuat semaunya, seperti tidak membeli tiket, menerobos masuk stadion, melakukan penjarahan di toko-toko.
Tetapi bisa dikatakan bahwa lembaran itu telah lewat. Energi negatif itu kini bertransformasi menjadi gerakan perlawanan pada penguasa PSSI. Semuanya bermula dari laga lanjutan Liga Super Indonesia (LSI) musim 2009/10 antara Persebaya vs Persik Kediri. Saat itu Persik Kediri yang bertindak sebagai tuan rumah tidak mendapatkan izin bertanding dari Polres Kota Kediri dan seharusnya Persebaya bisa dinyatakan menang WO. Namun, PSSI justru berbeda sikap. Mereka memaksakan laga kedua tim harus tetap digelar dan mengincar tempat netral, dengan Yogyakarta akhirnya menjadi tujuan. Tetapi Persik Kediri kembali gagal mendapatkan izin dan PSSI kembali ‘mengupayakan’ laga ini digelar di Kediri. Lagi, usaha ini gagal.
Pada 7 Agustus 2010, PSSI menunjuk Palembang sebagai tempat baru pelaksanaan pertandingan ini. Persebaya dan Bonek menolak datang hingga akhirnya dinyatakan kalah WO. Sulit untuk tidak tergelitik dengan pertanyaan apakah ada motif tertentu dalam sikap PSSI ini. Pasalnya hasil pertandingan antara Persebaya dan Persik Kediri akan mempengaruhi nasib Pelita Jaya, klub Nirwan Bakrie, Wakil Ketua Umum PSSI saat itu. Jika Persebaya gagal menang, Pelita Jaya bisa mengikuti laga play off – dan akhirnya mereka memang ‘berhasil’ mengikuti laga playoff karena Persebaya kalah WO – dan meraih kemenangan melawan Persiram Raja Ampat.
Buntut panjang dari peristiwa ini adalah dualisme Persebaya, yang memaksa Bonek melancarkan aksi Surabaya Melawan. Mayoritas Bonek tetap memilih setia bersama Persebaya pimpinan Saleh Ismail Mukadar dan menolak kehadiran Persebaya kubu Wisnu Wardhana yang saat itu diakui PSSI, namun kini sudah berganti nama menjadi Surabaya United.
Terhentinya penyelenggaraan kompetisi tandingan LPI yang digagas Arifin Panigoro yang menjadi kompetisi yang diikuti Persebaya Saleh Ismail Mukadar otomatis membuat Persebaya dan Bonek vakum. Pertandingan Persebaya pimpinan Wishnu Wardhana di kompetisi resmi PSSI tidak mendapatkan perhatian dari mayoritas Bonek yang merasa diperlakukan tidak adil oleh PSSI. Mereka memilih ‘menggantung syal’, mengutip istilah yang digunakan oleh salah satu Bonek yang juga teman saya, yaitu menolak memberikan dukungan pada Persebaya yang didukung PSSI.
Dalam sebuah wawancara singkat melalui pesan pendek dengan @bonekcasuals, saya meminta keterangan mengenai apa yang dirasakannya sebagai Bonek saat ini.
“Rindu tribun,” balasnya.
Selama ketidakdilan bertahan, Bonek tak akan berhenti melawan
Saya terusik untuk menanyakan mengapa beliau bertahan dan benarkah ada intimidasi dari pihak-pihak tertentu sejak dualime Persebaya tercipta.
“Idealisme dan keyakinan. Tidak jarang juga salah satu organisasi massa (yang tidak bisa disebutkan namanya) mendatangi mess. Pernah mess disegel karena diobrak-abrik oleh mereka. Polisi hanya penengah agar tidak chaos.”
Pembicaraan kami berlanjut cukup panjang. Namun, ada satu kesimpulan yang bisa diambil: bahwa selama ketidakdilan bertahan, Bonek tak akan berhenti melawan.
Source: 7upAsia