7upasia.net

berita7up.com – Klise memang anggapan untuk memetik hikmah dari sebuah konflik, perseteruan, atau pertikaian. Tapi ungkapan usang itu masih berlaku untuk sepakbola Indonesia yang tengah digempur turnamen melulu tanpa adanya kepastian kapan digulirkan kembali sebuah liga seperti saat ini.

Turnamen-turnamen yang muncul setelah Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden seperti Piala Panglima Sudirman, Indonesia Super Cup, Marahalim Cup, Habibie Cup, hingga turnamen yang diwacanakan PT Liga Indonesia pada 2016 nanti mulai dicerca. Reaksi yang hampir seragam datang dari kubu suporter. Mereka sebenarnya jengah dengan keberadaan turnamen dan menuntut agar liga segera digelar. Sebuah hal yang sulit diwujudkan sementara ini karena syarat utamanya tentu kedua kubu yang bertikai segera bersatu.

Kesejahteraan pemain dijadikan alasan utama agar liga segera digelar kembali. Sebuah paradigma yang agak kurang tepat. Sebab mengacu dengan apa yang terjadi selama ini, keberadaan liga malah membuat pemain kita kerap dilanda masalah telatnya gaji hingga yang paling parah, tak dibayar. Durasi liga yang lebih panjang membuat banyak klub kehabisan bensin di tengah jalan. Pemain terlantar.

Sementara untuk turnamen seperti sekarang ini, tiap pemain mendapatkan haknya sesuai match fee. Klub juga tidak merugi banyak karena kontrak pemain lebih pendek berdasarkan durasi turnamen, serta masih mendapatkan suntikan dana dari match fee.

Selain itu, jika ditelaah lebih mendalam, turnamen lebih memiliki kegunaan dalam ranah mempersiapkan mental untuk berlaga di tingkat internasional ketimbang liga.

Liga memang sistem yang jamak digunakan sebuah kejuaraan utama di level domestik. Dengan sistem round robin (kompetisi penuh, bertemu dua kali) yang tentu memakan waktu panjang untuk ‘menghidupi’ sepakbola, liga juga dinilai lebih adil dalam sebuah kompetisi. Sebab semua tim punya kesempatan yang sama dan kandang dan tandang. Liga juga mampu mengurangi ketergantungan pesertanya kepada keberuntungan karena tidak adanya sistem gugur dan terpacu pada poin-poin yang didapatkan.

Namun sejatinya dari segi gengsi sebuah kejuaraan, liga levelnya ada di bawah turnamen. Para pemenang liga-liga di tiap negara harkatnya adalah untuk diadu kembali dalam turnamen tingkat internasional, mulai benua hingga dunia.

Pencarian juara sejati di tingkat internasional adalah menggunakan sistem turnamen dengan sistem gugur yang dimilikinya. Drama adu penalti adalah hiasan indah yang dimiliki turnamen. Babak final sebagai penahbisan siapa yang terbaik dipasang di akhir, terlihat beda jauh tensinya ketimbang liga yang datar-datar saja. Bahkan di liga kerap kali terjadi, juara muncul lebih cepat, jauh dari akhir sebuah musim.

Karenanya, agar tak begitu kaget dengan sistem turnamen yang ada di tingkat konfederasi berbasis benua macam Champions hingga tingkat dunia, federasi di sebuah negara juga mempersiapkan turnamen seperti Copa, Cup, Coppa dan sejenisnya yang fase demi fasenya dihiasi sistem gugur.

Sementara beberapa negara yang tak memiliki turnamen karena jumlah peserta hingga luasnya daerah, mereka menyiasatinya dengan cara memasukkan turnamen dalam liganya. Indonesia kerap menggunakan sistem ini dengan mengadu kembali mereka yang finish di empat tertinggi masing-masing grup ke dalam babak delapan besar selanjutnya semi final hingga final. Tak lain adalah untuk mempersiapkan tim pemenang untuk mampu beradaptasi dengan atmosfer turnamen di tingkat internasional nanti.

Meski sebenarnya tujuannya bagus: siap berlaga di turnamen tingkat internasional, turnamen domestik ini kemudian memiliki citra lebih rendah ketimbang liga. Turnamen dianggap sekadar sampingan dan “nomor dua” karena biasanya diikuti tim-tim kecil dengan memadukan dua hingga tiga divisi.

Citra “turnamen lebih rendah harkatnya ketimbang liga” itu kemudian makin membekas di Indonesia saat ini. Sebab, berbagai turnamen dimunculkan sebagai pengisi kekosongan liga, buntut dari konflik kepengurusan sepakbola tanah air.

Padahal, jika mau berpikir lebih lanjut lagi untuk diambil hikmahnya, sepak bola kita tengah diberi pelajaran untuk bermain di level kompetisi tertinggi. Sepak bola kita tetap diberi kesempatan mencicipi atmosfer suasana laga internasional di tengah sanksi dikeluarkan dari dunia internasional oleh FIFA.

Sepak bola Indonesia tidak sedang dalam memilih sistem mana yang baik, turnamen atau liga, skema kompetisi yang mana dan sejenisnya. Sepak bola kita juga tengah tak punya kekuatan atau memiliki nilai tawar untuk mendapatkan pilihan.

Yang ada kita tengah menunggu konflik ini selesai. Mau turnamen atau liga, sama saja yang penting bola tetap menggelinding di lapangan, hiburan di kala senja masih ada. Terima saja. Kalau semuanya bersatu dan tampil lagi di level internasional, kita sudah siap dengan gencarnya turnamen-turnamen semenjana ini.

Dari konflik yang mendera ini, sepak bola kita sebenarnya tidak kehilangan sebuah pertandingan. Sepak bola Indonesia hanya sedang ditinggal oleh waktu yang terus berjalan.


Source: 7upAsia